Home / Pendidikan / Ketika Etika Dikesampingkan, Nominal Sumbangan Disebutkan Seorang Guru SMAN 1 Tasikmalaya
IMG_20250908_170930

Ketika Etika Dikesampingkan, Nominal Sumbangan Disebutkan Seorang Guru SMAN 1 Tasikmalaya

Tasikzone.com – dugaan pelanggaran etika mencuat di SMAN 1 Tasikmalaya yang diduga dilakukan oleh Seorang Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan.

wakasek yang juga seorang guru tidak sepatutnya menyebut nominal uang, saat ada orang tua wali mendesak sumbangan yang hendak diberikan.

Dugaan pelanggaran etika ini mencuat di setelah seorang warga, Teten, membeberkan pengalaman saudaranya yang ingin pindah sekolah dari SMAN 1 Cipatujah.

Menurut Teten, pada 16 Juli 2025, pihak sekolah diduga meminta sumbangan sebesar Rp10 juta sebagai syarat penerimaan.

Tawaran orang tua siswa sebesar Rp8 juta ditolak dengan alasan perbedaan kurikulum.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius terkait etika dan transparansi dalam dunia pendidikan.

Menanggapi tudingan tersebut, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Drs. Akuh, S.Pd., M.Pd., membantah adanya pungutan wajib. Ia menegaskan bahwa sumbangan bersifat sukarela.

Namun, ia membenarkan adanya percakapan tentang nominal sumbangan, yang menurutnya muncul akibat desakan dari orang tua siswa.

“Awalnya orang tua mendesak saya menyebutkan nominal sumbangan. Saya katakan sifatnya sukarela. Karena mereka terus menekan agar disebutkan angka, saya sampaikan dengan tertawa bahwa sebelumnya ada yang memberikan Rp. 10. Tapi itu bukan ketentuan, hanya contoh,” jelas Akuh pada Kamis (28/08/2025).

BACA JUGA   Sekolah Dasar Di Kabupaten Tasik Dibingungkan Tiba Tiba Ada Bantuan Mebelair

Menurut Akuh, kendala utama dalam proses ini adalah perbedaan kurikulum, di mana SMAN 1 Cipatujah masih menggunakan Kurikulum 2013, sedangkan SMAN 1 Kota Tasikmalaya sudah menerapkan Kurikulum Merdeka.

Meskipun demikian, pihak sekolah akhirnya memutuskan bahwa siswa bisa diterima tanpa wajib membayar sumbangan, dan surat penerimaan telah disiapkan. Namun, orang tua siswa akhirnya membatalkan niatnya untuk pindah.

Terlepas dari tidak terjadinya pungutan, Teten merasa bahwa praktik ini sering dilakukan oleh oknum sekolah.

“Kami jadi menduga praktik ini seolah sering dilakukan oleh oknum sekolah,” ucapnya.

Lebih lanjut, Teten menyoroti pelanggaran etika seorang guru yang menyebutkan nominal sumbangan, meskipun diklaim sebagai contoh.

Teten berharap Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melalui pengawas bisa memberikan pembinaan kepada oknum guru tersebut.

Hal ini menggarisbawahi pentingnya moralitas dan profesionalisme seorang pendidik, di mana perilaku yang tidak etis dapat merusak citra institusi pendidikan dan kepercayaan publik. (***)

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *