Home / Opini / Paradigma Kehidupan
IMG-20190912-WA0020

Paradigma Kehidupan

Dr. Rifyal Luthfi MR

Hidup di tengah zaman yang berjiwa (zitgeist) kompleks dan chaos/kacau ini mempersyaratkan kita untuk terus melakukan hal yang positif serta mau terus belajar. Belajar mulai dari yang sederhana dengan cara mengetahui dan juga mengingat sampai dengan belajar yang memungkinkan berkembang dan lahirnya kreativitas. Paradigma kehidupan yang berbeda dan unggul.

Dengan belajar, akan membuat kita makin merasa atau rasa-rumasa. Kita dituntut untuk merasakan kekurangan diri, merasakan tugas diri sebagai manusia dan khalifah di muka bumi, merasakan diri sebagai hamba Allah swt. yang tugasnya hanya untuk beribadah tidak ada yang lainnya.

Bagaimanapun juga sejarah pasti akan mencatat setiap peristiwa; tertulis maupun tidak. Setiap orang yang melihat akan memberi persaksian kepada generasi selanjutnya tentang apa ia saksikan pada zamannya; peristiwa, tokoh, kepahlawanan, keadilan, kecerdasan, kebodohan, keberanian, kepengecutan dan lain sebagainya. Catatan sejarah manusia tidak akan pernah sepi dari berbagai kejadian dan kumpulan cerita kehidupan.

Hingga kini, tercatat beberapa nama yang menjadi simbol dari sebuah karakter. Misalnya,dalam kepemimpinan; Nabi Muhammad, dalam keadilan; Umar Bin Khatab, dalam kelembutan; Ahnaf, dalam keberanian; Antarah, dalam kecerdasan; Iyas bin Muawiyah, dalam kedunguan; Habannaqah, dalam syair; Al-Mutanabbi, dalam kebagusan; Nabi Yusuf, dalam kesabaran; Nabi Ayyub, dalam kebohongan; Musailamah, dalam kemunafikan; Abdullah Ibnu Ubay, dalam hikmah dan kebijaksanaan; Luqman, dalam hadits; Al-Bukhari, dan dalam Tasawuf; Al-Junaid.

Di saat hidupnya, mungkin mereka tidak pernah mengira bahwa sosoknya akan dijadikan simbol sebuah sifat tertentu. Mereka menjalani hidup sesuai alur pikiran masing-masing. Tidak ada niat untuk dijadikan sebagai percontohan orang-orang sesudahnya. Tapi kemudian sejarahlah yang mengabadikan namanya, dan tentunya itu semua adalah kehendak dari Allah Yang Maha Kuasa.

BACA JUGA   Menengok Sejenak Digitalisasi Literasi Kebudayaan

Sebagai kita juga pasti akan menjadi bagian sejarah di masa depan. Saat generasi telah berganti; saat jatah hidup dimakan usia, saat umur berlalu mengiringi waktu, saat jarak terpaut begitu jauh dengan masa kehidupan saat ini. Saat itu lah generasi baru akan bercerita tentang kakeknya, pamannya, bapaknya atau seseorang (yang mungkin itu saya,anda atau kita) yang pernah diceritakan orang kepadanya.

“Dan begitulah masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di-antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (Q.S. Ali Imran: 140). Bagi kita yang hari ini bisa dilakukan adalah merancang sejarah diri sebaiknya-baiknya. Apa yang kita inginkan menjadi citra diri yang baik di masa yang akan datang.

Saya teringat sebuah nasihat; ”Ukirlah kenangan, lukislah sejarah, dan jalanilah hidup dengan cara terbaik. Bagaimana engkau menjalani hidup, begitu pulalah kesan orang-orang di saat kematianmu.”

Sebagai sebuah prinsif bahwa diri kita harus mempunyai keunggulan dan itu adalah sebuah keniscayaan, janganlah mengikuti apa-apa yang kita tidak pernah tahu arah dan tujuannya. Namun ketika suatu perbedaan dalam diri ini adalah sebuah rahmat dari Allah, maka pergunakanlah perbedaan itu untuk membuat makhluk di muka bumi ini merasa nyaman dengan kehadiran kita, merasa adil dengan kepemimpinan kita, merasa aman dalam perlindungan kita dan merasa bangga atas rasa kasih sayang serta cinta kasih kita kepada mereka.
Pokok yang paling utama bagi kita yang adalah tetaplah bermental seperti seorang santri , yakni satunya pikiran, sikap dan tindakan kita dalam bingkai kejujuran. Semoga anda, saya dan kita, selalu dalam Maghfirah dan lindungan Allah swt. Aamiin ya Rabbal `alamin.

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *