Oleh : Dinda Agustiani
Mahasiswa Universitas Siliwangi
Tasikzone.com – Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Luas wilayah lautnya bahkan jauh lebih besar dibandingkan daratan. Kondisi ini sebenarnya bukan hanya ciri geografis, tetapi identitas strategis yang seharusnya memengaruhi cara Indonesia membangun kekuatan nasional. Jika dilihat melalui perspektif Alfred Thayer Mahan dalam teori Sea Power, posisi maritim Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikannya kekuatan regional, bahkan global, jika dikelola dengan tepat.
Dalam pemikirannya, Mahan menjelaskan bahwa negara yang ingin menjadi kuat di panggung internasional harus memiliki kemampuan menguasai laut. Penguasaan tersebut bukan hanya soal militer, tetapi juga perdagangan, kontrol jalur pelayaran, infrastruktur pelabuhan, serta budaya maritim yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, laut bukan hanya ruang kosong, tetapi sumber vital yang menentukan posisi suatu bangsa di dunia. Jika pandangan ini diterapkan di konteks Indonesia, maka seharusnya Indonesia berada dalam posisi strategis yang sangat kuat mengingat letaknya berada di jalur penting perdagangan dunia.
Secara geopolitik, Indonesia berada di titik silang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sekaligus dikelilingi banyak selat strategis yang menjadi jalur pelayaran internasional. Selat-selat tersebut menjadi rute bagi kapal dagang global, baik yang membawa energi, komoditas, maupun barang industri. Menurut logika teori Mahan, negara yang mengontrol jalur ini seharusnya memiliki pengaruh besar dalam dinamika ekonomi dan keamanan internasional. Posisi ini membuat Indonesia tidak hanya sekadar wilayah transit, tetapi seharusnya menjadi pemain kunci dalam perdagangan maritim dan diplomasi global.
Namun, potensi besar tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hingga kini, pembangunan nasional masih sering berorientasi ke daratan. Banyak pelabuhan belum terhubung secara optimal dengan hinterland, armada logistik belum sebanding dengan kebutuhan nasional, dan pemanfaatan sumber daya laut seperti perikanan, energi lepas pantai, serta wisata bahari belum maksimal. Tantangan lainnya adalah lemahnya pengawasan wilayah perairan yang sering dimanfaatkan pihak asing untuk aktivitas seperti penangkapan ikan ilegal atau penyelundupan. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi kekuatan laut Indonesia masih lebih banyak berada dalam bentuk peluang, bukan realitas.
Selain itu, budaya maritim masyarakat Indonesia tampak mulai memudar. Padahal dalam teori Mahan, kekuatan maritim bukan hanya soal aset fisik seperti kapal atau pelabuhan, tetapi juga soal cara pandang bangsa terhadap laut. Jika masyarakat tidak memiliki kedekatan dengan laut, sulit bagi negara untuk membangun strategi maritim yang kuat. Sejarah Nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit pernah berjaya karena kekuatan maritimnya. Sayangnya, kesadaran historis ini belum benar-benar menjadi pijakan pembangunan nasional.
Meski begitu, beberapa kebijakan pemerintah dalam satu dekade terakhir menunjukkan adanya upaya mengembalikan orientasi maritim Indonesia. Konsep Poros Maritim Dunia yang sempat digaungkan pemerintah menjadi salah satu langkah strategis untuk menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai negara maritim. Melalui kebijakan ini, pembangunan infrastruktur pelabuhan, peningkatan keamanan perairan, diplomasi maritim, dan pengembangan ekonomi biru mulai mendapat perhatian lebih. Jika langkah ini diteruskan secara konsisten, Indonesia perlahan-lahan dapat bergerak menuju posisi maritim yang lebih kuat sebagaimana digambarkan Mahan.
Ke depan, Indonesia perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap pembangunan sektor maritim. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat armada angkatan laut dan penjaga pantai, membangun pelabuhan bertaraf internasional, serta memastikan jalur pelayaran internasional dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi nasional. Selain itu, pendidikan maritim dan literasi kelautan perlu ditanamkan sejak dini agar masyarakat tidak lagi memandang laut sebagai batas, tetapi sebagai ruang kehidupan dan peluang.
Pada akhirnya, jika teori Alfred Thayer Mahan kita jadikan lensa analisis, maka posisi Indonesia bukan sekadar negara yang “kebetulan” berada di antara dua samudera, tetapi negara yang memiliki modal strategis untuk menjadi kekuatan maritim dunia. Tantangan terbesar Indonesia bukan pada kurangnya potensi, melainkan pada kesanggupan politik, konsistensi kebijakan, dan perubahan pola pikir untuk benar-benar memandang laut sebagai masa depan bangsa.
Jika Indonesia mampu mewujudkan itu, maka identitas sebagai negara maritim bukan hanya slogan, melainkan kekuatan geopolitik yang nyata dan dihormati dunia.
Tasik Zone Kreativitas Muda Untuk Indonesia