Tasikzone.com — Sejak dilantiknya Wali Kota Tasikmalaya Viman Alfarizi bersama Wakil Wali Kota Diky Chandra, gelombang kritik mulai bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat. Aksi unjuk rasa pun kerap menghiasi suasana kota, menyusul kekecewaan sejumlah elemen masyarakat yang merasa diabaikan. Minggu (01/06/2025)
Beberapa aktivis, organisasi masyarakat (ormas), LSM, hingga komunitas dikabarkan telah mengajukan surat permohonan audiensi dengan wali kota, namun hingga kini belum juga mendapat respons, kecuali dari kalangan mahasiswa yang sempat diterima untuk berdialog.
Situasi ini menimbulkan perbincangan hangat di media sosial. Banyak pihak mempertanyakan kinerja pasangan kepala daerah yang dinilai belum menunjukkan gebrakan nyata.
Ketua Pemerhati Anggaran, Kebijakan, dan Aspirasi Rakyat (PAKAR) Tasikmalaya, Dede Sukmajaya, menyoroti lambannya langkah Wali Kota Viman dalam menuntaskan persoalan internal birokrasi. Salah satu contohnya adalah belum diisinya delapan posisi kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang seharusnya segera ditetapkan.
“Kalau mengurus internal birokrasi saja belum bisa dibereskan, bagaimana mungkin bisa menyentuh isu yang lebih besar seperti pembangunan dan pelayanan publik?” ujar Dede saat ditemui awak media.
Dede juga mengungkapkan pengalamannya saat mengajukan perizinan IMB/PBG yang hingga kini belum tuntas setelah lebih dari tiga bulan. Ia menduga hal tersebut juga disebabkan belum efektifnya peran wali kota dalam menggerakkan perangkat daerah.
Ia menilai Viman seolah tersandera oleh sesuatu, sehingga belum berani mengambil keputusan penting. “Padahal, penempatan pejabat setingkat kepala dinas itu sangat krusial untuk menentukan arah kebijakan dan pelayanan kepada masyarakat,” tambahnya.
Tak hanya itu, menurut Dede, Wali Kota Viman terlihat kurang percaya diri saat berinteraksi dengan para pejabat senior, termasuk sekretaris daerah. Ia menduga usia muda Viman menjadi salah satu faktor yang membuatnya tampak canggung.
“Kalau alasannya harus menunggu enam bulan untuk bekerja penuh karena masih melanjutkan program kepala daerah sebelumnya, itu justru keliru. Budaya menunggu dalam birokrasi sangat tidak sehat,” tegasnya.
Dede menegaskan bahwa kritik yang dilontarkan bukan untuk menjatuhkan, tetapi sebagai masukan agar kepala daerah tidak antikritik. “Kalau dalam lima tahun ke depan wali kota alergi terhadap kritik, saya kira masyarakat akan tahu harus bagaimana di kemudian hari,” pungkasnya. (***)