Home / Opini / Keistimewaan Yogyakarta Sebagai Arena Dua Ruang Kekuasaan Adat–Negara : Kajian Politik Lokal
IMG-20251202-WA0021

Keistimewaan Yogyakarta Sebagai Arena Dua Ruang Kekuasaan Adat–Negara : Kajian Politik Lokal

Tasikzone.com – Yogyakarta merupakan sebuah wilayah unik yang ada di Indonesia, satu-satunya provinsi yang masih menggunakan dan menggabungkan sistem Kerajaan tradisional dengan pemerintahan modern. Di satu sisi Sultan Hamengkubuwono X adalah ngarso dalem (pemimpin adat, raja, simbol budaya, dan figur spiritual).

Di sisi lain ia juga bertindak sebagai seorang Gubernur (kepala daerah) yang menjalankan roda administrasi negara. simbol budaya yang kedudukannya sebagai raja, sekaligus kepala pemerintahan yaitu Gubernur. Kedua “tahta” ini bukan hanya sebagai simbol, tetapi memiliki konsekuensi politis yang nyata. Dalam struktur kerangka negara demokratis, posisi ganda seperti ini menciptakan dilema yang besar dan kompleks, terutama Ketika perintah sebagai raja tidak selalu sejalan dengan kebijakan politik administratif sebagai pejabat pemerintahan. Dilema yang kemudian mengerucut kepada antara kekuatan historis dan tuntutan modernitas.

SULTAN DALAM DUA RUANG KEKUASAAN

Fenomena dualisme ini lahir tidak lepas dari sejarah Panjang kesultanan, dimana legitimasi sultan sebagai seorang pemimpin tidak hanya berasal dari sistem politik, tetapi berawal dari nilai tradisional dan religius yang hidup dalam masyarakat. Kesultanan memiliki struktur otoritas yang telah berjalan ratusan tahun, jauh sebelum hadirnya pemerintahan modern seperti sekarang, dan menggambarkan nilai warisan budaya dan sejarah yang sangat berharga.

Fenomena dualisme kekuasaan ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah kesultanan Yogyakarta sendiri. Keraton Yogyakarta terbentuk dan lahir dari perjanjian giyanti pada tahun 1755, yang mana terjadi dari pembagian dan terpecahnya kekuasaan Kerajaan mataram islam menjadi kesultanan ngayogyakarta dan kasunanan surakarta pada saat itu. Sejak saat itu sultan memegang peran dan kendali atas politik (raja dengan otoritas territorial), sosial (pengayom rakyat), dan religius (pemimpin islam dan penjaga harmoni kosmos). Maka dari sanalah kekuasaan dan awal mula otoritas seorang sultan yang terbentuk dari warisan sejarah yang begitu kuat, dan hidup dalam kekuatan masyarakat. Nilai tradisional yang memperkuat otoritas sultan dan kekuasaan raja jawa pun tidak semata-mata administratif saja, tetapi menyatu dengan filosofi jawa itu sendiri.

Seperti ada pepatah atau konsep “manunggaling kawula gusti” yang mana masyarakat melihat hubungan dengan pemimpin sebagai hubungan spiritual. Sultan dianggap sebagai wakil tuhan di dunia, dan sang penjamin keberkahan dan ketertiban alam semesta, nilai ini yang menguatkan legitimasi kultural sultan. Ada juga “hamemayu hayuning bawana” sebagai pemimpin, sultan berkewajiban menjaga harmoni alam, masyarakat, dan spiritualitas. Keputusan politik yang diambil seringkali dibaca dalam kacamata etika kosmis, bukan hanya administratif. Dan ini adalah salah satu yang disinggung Ketika sempat melakukan observasi dan gelar sarasehan di keraton Bersama dengan pihak keraton, terutama dalam menjaga harmonisasi alam. Dan tentunya ada hukum adat keraton atau yang disebut paugeran. Paugeran sendiri mengatur tata kraton, termasuk: suksesi, gelar, titah raja, dan struktur bangsawan. Paugeran inilah yang teradang memang berbenturan dengan hukum negara, salah satunya missal tentang suksesi Perempuan.

Dan banyak lagi ritual lainnya, seperti ritual sekaten, garebeg, labuhan, yang dianggap sebagai pertemuan dua dunia. Karena figur sultan dipandang sebagai pusat spiritualitas dan penjaga moral masyarakat. Yang secara tradisi pun sultan memegang gelar religius sebagai “ngabdurahman sayyidin panotogomo khaliftullah”, yang menunjukan perannya sebagai pemimpin keagamaan dan pusat spiritualitas yang kuat sebagai seorang raja.

Dalam seiring tumbuhnya nilai budaya dan sejarah ini, jauh sebelum Indonesia terbentuk, kesultanan ngayogyakarta hidup dalam kekuatan yang besar sampai pada masa colonial pun tidak tersentuh. Yogyakarta adalah salah satu daerah yang tidak tersentuh oleh penjajahan kolonialisme. Kesultanan ngayogyakarta hidup dalam kehidupannya sendiri dan punya otoritas nya sendiri.

Tidak ada campur tangan kolonialisme disana yang menjadikan otoritas yang begitu kuat bagi Yogyakarta. Meski demikian, sejarah Indonesia justru tidak lepas dari Yogyakarta itu sendiri. Dengan bantuan yang diberikan oleh kesultanan Yogyakarta, salah satunya Ketika Indonesia baru saja proklamasi dan belanda melancarkan agresi militer, Yogyakarta adalah satu-satunya yang menawarkan dan menjadikan ibukota sementara sebagai tempat perlindungan bagi Indonesia saat itu, dan bahkan kraton pada kepemimpinan sultan hamenkubuwono IX menyumbangkan sekitar 6,5 gulden untuk republik Indonesia.

Dan pada saat Indonesia di ambang krisis Ketika tidak ada yang menyatakan bergabung dan kurangnya legitimasi pada republik, kesultanan Yogyakarta yang menyatakan pertama kali bergabung dengan republik pada tahun 1945. Dengan pada saat itu jasa yang sangat besar dari Yogyakarta menjadikan Yogyakarta sebagai daerah Istimewa sehingga kesultanan diintegrasikan, tetap mempertahankan struktur adatnya dan lahirlah “peran ganda” sultan di ranah adat pemerintahan. Dengan demikian status keistimewaan Yogyakarta bukan sekedar “political privilege” tetap rekognnisi terhadap sejarah Panjang kesultanan, jasa politik sultan HB IX, dan konsistensi budaya jawa dalam kehidupan masyarakat.

Namun, sejak Yogyakarta bergabung dengan Indonesia, kekuasaan kesultanan harus berdampingan dengan kerangka hukum negara. Titah sebagai raja dapat muncul dari tafsir moral dan adat, sementara kebijakan sebagai gubernur terikat oleh prosedur administratif dan hukum positif.

Dalam kacamata teori max weber, otoritas tradisional munncul dari keyakinan masyarakat terhadap keabsahan aturan turun-temurun. Tetapi Weber juga menyebutkan bahwa otoritas tradisional dan otoritas legal-rasional sering kali berpotensi menciptakan ketegangan jika keduanya hadir dalam satu figur. Namun, dalam posisi sultan Yogyakarta memperoleh legitimasi kuat karena: keturunan mataram islam dianggap sebagai garis kepemimpinan yang sah, keraton menjadi pusat kebudayaan jaawa yang dihormati, dan sultan dipandang sebagai pemimpin spiritual sekaligus pelindung adat. Dan dengan otoritas legal-rasional nya, legitimasi sultan juga diperkuat dari hukum formal yaitu: UUD 1945 pasal 18B, UU NO. 3/1950 tentang keistimewaann DIY, dan UU NO.13/2012 tentang keistimewaan DIY, yang mana melalui regulasi tersebut, sultan memegang jabatan sebagai gubernur DIY secara otomatis tanpa pemilihan umum.

DUA SISTEM KEKUASAAN YANG BERTUMPUK

Legitiminasi monarki merupakan bentuk penerimaan atau pengakuan daari masyarakat para kekuasaan atau kewenangan tradisional, Dianggap sah karena warisan turun temutun yang ditetapkan dengan budaya, adat, juga kepercayaan masyarakat. Dalam konteks Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Ciri dari legitiminasi monarkinya adalah garis keturunan Kerajaan Mataram. Sulta di Yogyakarta dianggap sah karena beliau merupakan keturunan dan penerus sah dinasti dari Kerajaan Mataram Islam.
Legitiminasi rasional merupakan legitiminasi yang sumbernya berasal dari aturan hukum, Legitiminasi di Yogyakarta muncul setelah Kesultanan tergabung dan menjadi bagian dari NKRI. UU Keistimewaan Yogyakarta No.13 Tahun 2012, menjadi dasar penting dalam legitiminasi rasional, yang menetapkan Sultan yang bertahta menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Adipatu Paku Alam yang bertahta sebagai Wakil Gubernur. Dimana penetapannnya dilakukan melalui administratif modern seperti keluarnya SK Presiden dan melakukan pelantikan, lalu ada juga peraturan daerah keistimewaan atau Perdais, dan memiliki wewenang untuk mengatur kebudayaan, pariwisata, tatakelola, dan lainnya berdasarkan legalitas formil.

Selain itu Yogyakarta juga menjadi daerah dengan otonomi khusus, yang dapat mengakomodasikan kebudayaan, ejarah, adat juga polititk didaerahnya. Yogyakarta pun memiliki wewenang dalam pengurusan administratifnya, seperti pengelolaan tata ruang. Selain itu juga dalam legitiminasi kinerja Sultan sebagai gubernur dipandang mampu dalam menjalankan legitiminasi di lingkup politik serta mampu menjalankan tugas sebagai pemegang tahta sekaligus pemegang kekuasaan didaerahnya dengan maksimal dan berhasil, karena bagi Sultan beliau tidak hanya sebagai raja yang memimpin kerjaannnya tetapi beliau juga merupakan pejabat publik yang memiliki wewenang dalam mengatur daerahnya, Kita bisa melihat bahwa kepemimpinan Sultan yang juga menjabat sebagai pejabat publik ini bisa menjalankan pemerintahan daerah dengan efektif juga efisien dalam lingkup birokrasinya, tidak hanya itu dalam lingkup pembangunan ekonomi serta pengelolaan tata ruang pun Gubernur Yogyakarta berhasil menata daerahnya tanpa menghilangkan filosofi kebudayaan yang dimiliki, lalu dalam mengembangkan pariwisata budayanya yang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Pada stabilitas sosial dan politiknya juga mengharmonisasikan antara modern juga budaya.

BACA JUGA   Penguatan Posisi Indonesia dalam Geopolitik Global melalui Pengendalian Selat Malaka: Tinjauan Teori Rudolf Kjellen

KETIKA TITAH BERTEMU REGULASI

Dalam konteks dua sistem kekuasaan yang bertumpuk, dimana sultan sebagai raja memegang otoritas adat dan gubernur menjalankan pemerintahan modern, kebijaksanaan sultan menjadi kunci utama untuk menyelaraskan keduanya. Titah sebagai raja sering kali bertemu dengan kebijakan sebagai gubernur dalam situasi sehari-hari, dimana keputusan adat harus disesuaikan dengan aturan nasional tanpa menimbulkan masalah.

Salah satu contoh nyata adalah pengelolaan tanh-tanah adat yang menjadi aset kesultanan. Tanah-tanah seperti tanah danyung dan tanah keperambonan merupakan aset adat yang tidak boleh di jual atau di lepas, karena menjadi bagian penting dari keistimewaan serta sumber penghidupan bagi abdi dalem maupun kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, sultan berperan sebagai pemegang otoritas adat dan pemilik aset kesultanan, sementara gubernur menjalankan pemerintahan modern berdasarkan hukum nasional. Titik temu keduanya terlihat Ketika negara membutuhkan lahan untuk pembangunan jalan tol. Kesultanan mengizinkan tanahnya dipakai tanpa melepas hak kepemilikan, sementara pemerintah menyesuaikan regulasi agar pembangunan public tetap berjalan tanpa mengorbankan nilai historis dan keistimewaan daerah. Praktik ini menunjukkan bahwa titah tidak selalu berlawanan dengan regulasi, sebaliknya keduanya dapat berkolaborasi melalui komunikasi dan negosiasi yang saling menghormati kewenangan masing-masing.

BAGAIMANA MASYARAKAT MEMANDANG INI

Refleksifitas masyarakat adalah respon publik terhadap keberadaan dan kebijakan keraton ditengah dualisme kekuasaan diantara tingkat (tradisional vs. modern).Yogyakarta (DIY) Masyarakat menunjukkan keterlibatan tinggi dan polarisasi terhadap kebijakan Sultan (misalnya Sabda Raja), yang mencerminkan relevansi politik dan ekonomi Sultan sebagai Gubernur dan pengelola aset tanah (Sultan Ground).

Masyarakat cenderung apatis terhadap konflik suksesi internal, melihatnya sebagai drama elite yang tidak berdampak nyata pada kehidupan sehari-hari. Hal ini berkorelasi dengan hilangnya status Keistimewaan. Stabilitas dan manfaat publik adalah kekuatan pengikat (binding power) keraton modern.
ANALISIS KONFLIK DAN TANTANGAN
Konflik Dualisme kekuasaan (warisan Mataram vs. birokrasi legal-rasional) merupakan sumber utama konflik di keraton modern.Sengketa keluarga yang berkepanjangan mengenai hak waris dan otoritas,terutama di Surakarta, memicu ketidakstabilan institusional yang berujung pada intervensi politik nasional dan hilangnya otonomi.

Konflik Sosial-Agraria (Pertanahan) Paling eksplosif di DIY, muncul akibat gesekan antara hak historis Keraton (atas Sultan Ground) dan tuntutan modern masyarakat akan keadilan agraria, kesetaraan hak, dan transparansi hukum.Kerancuan peran Sultan sebagai Raja (tradisional) dan Gubernur (formal) yang menuntut kebijaksanaan untuk menyeimbangkan kedaulatan kultural dengan kerangka hukum negara kesatuan.seringkali disebabkan oleh kegagalan dalam implementasi kebijakan yang kurang inklusif dan dialogis (syura), sehingga mengabaikan prinsip keadilan.

Ketika membahas dinamika sosial di Indonesia, saya melihat bahwa konflik tidak selalu hadir dalam bentuk pertentangan keras, tetapi justru dalam ketegangan halus antara aturan adat dan aturan negara yang terus saling menguji batas. Di banyak daerah, adat berfungsi sebagai pedoman moral yang sudah hidup jauh sebelum negara modern terbentuk. Namun negara hadir dengan logika legalisme dan birokrasi yang serba formal, sehingga keduanya sering tidak bisa berjalan selaras. Ketegangan ini muncul misalnya dalam pengaturan tanah adat, pengakuan lembaga tradisional, atau perebutan otoritas antara pemerintah daerah dengan struktur adat yang memiliki posisi historis. Konflik semacam ini bukan hanya soal aturan, tetapi soal legitimasi: siapa yang lebih benar, siapa yang lebih berhak, dan siapa yang berkuasa mendefinisikan identitas masyarakat.

Dalam konteks itu, komunikasi politik menjadi arena penting untuk memahami bagaimana aktor-aktor adat maupun negara membangun narasi, mengelola persepsi, dan mempertahankan pengaruh. Di era media sosial, komunikasi politik tidak lagi bersifat satu arah. Elite adat bisa menampilkan simbol, ritual, atau pernyataan kultural untuk menegaskan posisi mereka, sementara negara hadir dengan bahasa hukum dan regulasi. Keduanya saling berebut ruang dalam wacana publik. Tidak jarang konflik kecil membesar bukan karena substansi masalahnya, tetapi karena cara aktor-aktor ini berkomunikasi, atau karena publik menafsirkan pesan mereka secara berbeda. Ketidaksinkronan komunikasi sering memperpanjang ketegangan yang sebenarnya dapat diselesaikan lewat dialog yang lebih sensitif terhadap konteks budaya.

Dalam situasi ini, modal budaya memainkan peran penting. Kelompok adat biasanya memiliki legitimasi simbolik yang tidak digantikan oleh negara: sejarah, tradisi, pengetahuan lokal, dan kedekatan emosional dengan masyarakat. Modal budaya membuat suara mereka tetap signifikan dalam menentukan arah kebijakan lokal, bahkan ketika mereka tidak memiliki kekuasaan formal.

Di sisi lain, negara justru sering kekurangan modal budaya itu sehingga pendekatannya terlihat kaku atau tidak peka. Ketidakseimbangan inilah yang menjadi sumber ketegangan baru: adat mempertahankan otoritas moral, negara mempertahankan otoritas formal, sementara masyarakat berada di tengah-tengah, menimbang mana yang lebih masuk akal untuk diikuti.
Isu multikulturalisme menambah lapisan kompleksitas. Indonesia bukan hanya beragam dalam etnis, agama, dan tradisi, tetapi juga dalam gaya hidup modern yang berkembang cepat. Masyarakat tidak lagi homogen seperti ketika adat menjadi satu-satunya pedoman.

Di satu sisi, keberagaman ini memperkaya dinamika sosial; namun di sisi lain ia menciptakan perbedaan nilai yang dapat berbenturan dengan adat maupun kebijakan negara. Kelompok pendatang mungkin memiliki cara pandang berbeda tentang ruang publik, perempuan, ritual, atau kepemimpinan adat. Negara dituntut menjadi penengah yang adil, tetapi ia juga harus menghormati adat yang menjadi bagian identitas bangsa. Akibatnya, multikulturalisme justru memunculkan pertanyaan baru: bagaimana adat tetap eksis tanpa menyingkirkan kelompok lain, dan bagaimana negara menjaga keberagaman tanpa mereduksi peran budaya lokal ?

Dari semua itu, saya melihat bahwa konflik antara adat, negara, dan tuntutan masyarakat multikultural bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai proses negosiasi yang wajar dalam masyarakat yang terus berkembang.

Tantangannya adalah bagaimana setiap pihak membangun komunikasi politik yang lebih empatik dan inklusif, memanfaatkan modal budaya secara bijak, dan mengakui bahwa tidak ada satu sistem yang berdiri sendiri tanpa bersentuhan dengan yang lain. Selama dialog terus terbuka dan semua pihak mau memahami konteks sosial masing-masing, ketegangan itu bukan lagi penghalang, melainkan ruang untuk menemukan bentuk kebersamaan yang lebih adil dan relevan bagi masa depan.

KESIMPULAN

Dualisme kekuasaan di Yogyakarta menjadikan Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja tradisional (ngarso dalem) dan gubernur modern, berasal dari sejarah Kesultanan Ngayogyakarta sejak perjanjian Giyanti 1755. Legitimasi sultan berbasis otoritas tradisional keturunan Mataram, nilai budaya seperti “manunggaling kawula gusti” dan “hamemayu hayuning bawana”, serta peran spiritual serta otoritas rasional-legal via UU Keistimewaan DIY (No. 3/1950 dan No. 13/2012), yang menjadikannya gubernur otomatis tanpa pemilihan. Ini menciptakan dilema antara tuntutan historis-budaya dan modernitas, terlihat dalam konflik seperti pengelolaan tanah adat (Sultan Ground) versus regulasi negara, ketegangan suksesi, dan kebijakan inklusif; namun, harmonisasi melalui negosiasi lahan untuk infrastruktur menunjukkan potensi kolaborasi.

Masyarakat Yogyakarta menghargai stabilitas sosial dan manfaat publik, meski apatisme terhadap drama elite. Secara luas, konflik adat-negara-multikulturalisme adalah proses negosiasi wajar; tantangannya membangun komunikasi politik empatik, inklusif, dan dialogis untuk kebersamaan adil, menjaga eksistensi budaya lokal tanpa mengorbankan keberagaman modern, sehingga dualisme ini menjadi model harmonisasi identitas tradisional dan kemajuan nasional.

Disusun oleh, Oleh Kelompok 6 :Tugas mata kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi.

Berikut nama nama penyusun:

– 233507096 Muhamad Teguh Prasetya Pangestu
– 233507116 Aisya Rahmani
– 233507110 Alsya Aini Nurafifah
– 233507125 Yazidin Zidane
– 233507118 Dea Amelia Ristiani

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *