Oleh : Rian Sutisna S.H
Founder Tasikzone Publisher
Tasikzone.com – Saat Ma Oneng, perempuan renta berusia 70 tahun yang lumpuh, hidup di rumah bukan miliknya bersama seorang anak yang juga menyandang disabilitas, negara absen.
Ia bertahan dalam keterbatasan bertahun-tahun, di Kampung Pangkalan, Kelurahan Karikil, Kecamatan Mangkubumi, tanpa sentuhan kebijakan publik yang semestinya hadir sejak hari pertama ia dinyatakan tidak mampu berdiri sendiri.
Bantuan baru datang setelah Yayasan Padi Nusantara Sejahtera mengetuk pintu kepedulian publik lebih dulu. Barulah pemerintah Kota Tasikmalaya tersentak, lalu menyusul dengan bingkisan sembako dari Dinas Sosial dan kursi roda. Dinas Kesehatan pun hadir melakukan pemeriksaan cepat dan memberikan bantuan tambahan. Gerak yang baik tetapi datangnya terlambat.

Pertanyaan yang mengganggu kemudian muncul : apakah harus menunggu sebuah kisah getir menjadi viral lebih dulu agar negara mengingat tugasnya ? Apakah mekanisme pendataan dan pengawasan warga miskin ekstrem sedemikian rapuh hingga keberadaan seorang lansia lumpuh yang tinggal di rumah pinjaman pun luput dari radar pemerintah ?
Jika dinas terkait benar-benar tidak mengetahui kondisi Ma Oneng, itu menandakan kegagalan dalam sistem sosial kita : dari validasi data, pemantauan rutin, hingga koordinasi antarinstansi. Namun, apabila pemerintah sebenarnya tahu tetapi memilih diam, itu jauh lebih memprihatinkan karena berarti negara hadir bukan berdasarkan mandat, melainkan tekanan publik.
Tasikmalaya bukan daerah yang asing dengan kasus serupa. Hampir setiap tahun, selalu ada warga miskin ekstrem yang baru memperoleh bantuan setelah muncul di linimasa media sosial. Pola ini berulang, seperti lingkaran yang tak pernah diputuskan. Pemerintah seolah bergerak bukan karena sistem bekerja, tetapi karena malu ketika sorotan publik menelanjangi kelalaiannya.
Editorial ini tidak bermaksud mengecilkan langkah cepat yang akhirnya diambil pemerintah. Namun kita harus menuntut lebih dari sekadar respons reaktif. Kehadiran negara tidak boleh bersifat insidental. Ia harus menjadi sistem yang bekerja bukan sekadar pencitraan ketika kamera sudah menyala.
Ma Oneng adalah satu kisah. Pertanyaannya : berapa banyak lagi Ma Oneng lain yang belum pernah kita dengar ? Berapa lama lagi warga miskin harus menunggu bantuan yang seharusnya sudah menjadi hak dasar mereka? Dan sampai kapan aparat pemerintah berlindung di balik dalih “tidak tahu”?
Yayasan boleh menjadi pelopor, masyarakat boleh bergerak, media boleh mengangkat. Namun pada akhirnya, memastikan keselamatan, kesehatan, dan keberlangsungan hidup warga miskin ekstrem adalah tanggung jawab negara, bukan sekadar pekerjaan sambilan yang dikejar setelah viral. (***)
Tasik Zone Kreativitas Muda Untuk Indonesia