Tasikzone.com – Di Kabupaten Tasikmalaya, rupanya ada uang yang pandai bersembunyi. Nilainya bukan recehan Rp1,6 miliar, jumlah yang bagi sebagian orang bisa membangun rumah, membuka usaha, bahkan menyekolahkan anak hingga sarjana. Tapi di tangan birokrasi, angka itu seolah hanya deretan digit yang menguap entah ke mana.
Kabar yang beredar, Bagian Umum Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Tasikmalaya diduga masih menunggak pembayaran kepada salah satu pengusaha katering lokal.
Kasus ini sudah berjalan lama, namun penyelesaiannya seperti jalan di tempat. Di meja birokrasi, waktu memang punya cara tersendiri untuk berhenti.
Sang pengusaha pun memilih diam. Bukan karena tidak butuh uang, tapi karena tahu betapa “mahalnya” harga berbicara jujur di hadapan kekuasaan.
Dalam dunia rekanan pemerintah, suara keras sering dibalas dengan hilangnya kesempatan kerja sama di masa depan. Maka, diam menjadi pilihan yang paling aman sekaligus paling menyakitkan.
Lucunya, di tengah kabar tunggakan miliaran rupiah, kursi Kepala Bagian Umum sempat berganti pejabat.
Dan seperti biasa, yang lama pergi meninggalkan jejak administrasi yang kabur, sementara yang baru datang dengan wajah bersih, seolah tak tahu-menahu soal warisan masalah. Dalam birokrasi, tanggung jawab sering kali hanya berlaku seumur jabatan.
Koropak Media Group sebenarnya sudah mencoba membuka tabir ini. Surat resmi untuk wawancara telah dikirim sejak 24 September 2025. Pun upaya menanyakan kepada Salah satu pegawai bagian umum tak kunjung pertanyaan Wartawan dibalasnya.
Tapi sampai berita ini ditulis, jawaban dari pihak Setda belum juga datang. Mungkin surat itu masih dalam proses disposisi, tersangkut di antara map, paraf, dan tanda tangan yang tak kunjung tuntas sebagaimana nasib piutang Rp. 1,6 miliar itu sendiri.
Dan di tengah semua keheningan itu, publik bertanya-tanya: apakah birokrasi kita benar-benar kekurangan uang, atau sekadar kehabisan rasa malu?
Sebab dalam setiap rupiah yang tak kunjung dibayar, tersimpan cerita tentang lemahnya komitmen, lunturnya integritas, dan matinya nurani pelayanan publik. Di Kabupaten Tasikmalaya, mungkin uang bisa menunggu tapi kepercayaan publik, tak selalu bisa dibayar kembali. (***)