Home / Opini / Ambiguitas Wacana Pemakzulan
IMG_20250707_110151

Ambiguitas Wacana Pemakzulan

Oleh : Davi Dzulfiqar, S.E
Ketua RW 11 Ciakar

tasikzone.com – Gegap gempita Pilkada Serentak 2024 masih terasa getarannya. Masyarakat Kota Tasikmalaya memenangkan pasangan Viman-Dicky sebagai Walikota dan Wakil Walikota Tasikmalaya periode 2024-2029 dengan suara terbanyak.

Namun pada kisaran 100 hari semenjak pelantikannya hingga detik ini, bergulir wacana dan aksi pemakzulan pemimpin terpilih. Ada apakah?

Sebagai sebuah aspirasi yang berkembang tentu sah-sah saja. Alam demokrasi meniscayakan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi sebagai bagian dari usaha untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan yang keluar dari ketentuan Undang-Undang.

100 hari kerja sejatinya baru permulaan. Pandangan awal yang sepertinya tidak elok untuk penilaian secara berlebihan. Justru ujian pemimpin sesungguhnya adalah konsistensinya secara jangka panjang. Perbaikan dan kolaborasi secara berkelanjutan menjadi kunci.

Kesuksesan pemimpin bukan pada sulap citra dan sorot kamera sekejap mata, apalagi bila berangkat dari proses rekayasa semu. Proses pembangunan ada jangka waktu yang indikator keberhasilannya bisa jelas dan terukur.

Semangat gotong royong sebagai jiwa bangsa sepertinya perlu direvitalisasi kembali. Tugas menata dan memajukan Kota Tasikmalaya tidaklah hanya bertumpu pada Walikota dan Wakil Walikota semata sebagai kepala eksekutif.

Perlu partisipasi publik yang luas, peran akademik dari kaum intelektual, wirausaha dari para pebisnis, serta produksi wacana yang membangun dari media massa.

Keresahan Masyarakat
Meninjau kembali kasus bupati Garut periode 2009-2013, Aceng Fikri, yang dimakzulkan dengan alasan utama melakukan perbuatan tercela dan melanggar sumpah jabatan serta undang-undang, berupa menikahi gadis muda 18 tahun secara siri, dimana 4 hari kemudian diceraikannya melalui sms.

Polemik yang menjadi isu etika dan kesusilaan yang meresahkan masyarakat, bahkan disorot dunia internasional. DPRD bergerak membuat pansus kemudian mengajukan hak menyatakan pendapat kepada MA hingga fatwa Mahkamah Agung keluar dimana menyetujui pemberhentian Aceng Fikri dari kursi Bupati.

Walaupun Aceng Fikri meminta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi, namun pemberhentian itu terus berjalan hingga ditandatangani oleh Presiden SBY melalui Menteri Dalam Negeri.

Lain halnya dengan Bupati Jember, Faida, Periode 2016 – 2021. Awalnya DPRD mengajukan hak interpelasi, berlanjut angket hingga menyatakan pendapat kepada Mahkamah Agung dengan dakwaan melanggar sumpah jabatan, melakukan korupsi hingga penyelewengan wewenang.

BACA JUGA   Kesempurnaan Yang Tersembunyi Part II

Hanya saja amar putusan Mahkamah Agung menolak permohonan pemakzulan Bupati Faida tersebut. MA menilai dakwaan yang dimohonkan tidak terbukti secara hukum.

Pemakzulan ada sebabnya, bukan proses yang dibuat-buat, karena harus terbukti secara hukum. Proses tersebut tentu melelahkan. Bahkan mengalihkan fokus perhatian semua pihak terkait, dari proses governance yang semestinya dilakukan.

Tentu sebagai bagian dari masyarakat merasa resah. Pemilu telah menghasilkan DPRD, Pilkada telah memutus walikota dan wakil walikota terpilih. Kenapa tidak membangun jembatan komunikasi dan sinergi karena memang satu kesatuan pemerintahan untuk memajukan kota Tasikmalaya tercinta.

Efek Akumulasi
Seorang Kepala Daerah dimakzulkan paling tidak bila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut. Yaitu pelanggaran sumpah jabatan, tindak pidana, perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah atau berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Isu yang mengemuka terkait wacana pemakzulan Viman adalah diantaranya lambatnya rotasi mutasi, pembelian mobil dinas dan tudingan ketidakmampuan memimpin.

Walau masih berkisar pada proposal dan investigasi, namun tentunya wacana ini menjadi ke risihan tersendiri. Betapa tidak, gangguan terhadap fokus kerja, mengalihkan semangat membangun, dan mengikis komunikasi dan persatuan.

Ada pepatah menegaskan bahwa untuk sebuah tujuan, arah lebih penting daripada kecepatan. Semua ada batas waktu dan momentumnya. Bila semua regulasi sudah terpenuhi ditambah dengan kesiapan struktur, maka sistem akan berjalan semestinya, dan kebijakan walikota dikeluarkan melalui berbagai keputusan dan peraturan.

Oleh karena itu jangan masuk pada jebakan kekinian. Karena sejarah terbentang panjang dalam seluruh ruangnya. Kesinambungan menjadi kunci bahwa gagasan dan tindakan sekuensial pemimpin terus terakumulasi menjadi legacy.

Semua berkata demi masyarakat dan kemajuan kota Tasikmalaya. Tapi sejatinya semua kan terasa vibrasi ketulusannya. Yang bermanfaat akan memberikan dampak. Ada yang tidak memimpin tapi berkontribusi. Ada yang memimpin terus berusaha memahami. Waktu akan menghakimi. (***)

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *