Home / Opini / Adaptasi Teori Geopolitik Klasik Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia
IMG-20251204-WA0020

Adaptasi Teori Geopolitik Klasik Dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia

Oleh : Salwa Nabilah
Mahasiswa Universitas Siliwangi

Tasikzone.com – Geopolitik sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara geografis, kekuasaan, dan strategi nasional telah menjadi dasar fundamental bagi negara-negara dalam merumuskan kebijakan pertahanan mereka. Walaupun teori-teori geopolitik klasik lahir pada periode dominasi kekuatan kolonial di abad ke-19 dan awal abad ke-20, relevansinya tidak serta-merta pudar seiring perkembangan dunia modern. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak pada persilangan jalur perdagangan global menjadikan faktor geografis sebagai penentu utama arah kebijakan pertahanannya. Justru karena lingkungan strategisnya yang amat kompleks—mulai dari potensi konflik maritim, dinamika Indo-Pasifik, hingga ancaman non-tradisional seperti siber dan terorisme—Indonesia semakin memerlukan pendekatan geopolitik yang adaptif. Dalam konteks tersebut, teori geopolitik klasik seperti pemikiran Sea Power Alfred Thayer Mahan, Rimland Nicholas Spykman, dan Heartland Halford Mackinder mengalami proses adaptasi yang signifikan dalam strategi pertahanan Indonesia.

Pemikiran geopolitik klasik menawarkan kerangka konseptual yang membantu negara membaca arah reformasi militer, kebijakan luar negeri, serta strategi geopolitik jangka panjang. Indonesia mengadaptasi teori-teori tersebut bukan sebagai dasar tunggal, melainkan sebagai perspektif pendukung untuk memahami bagaimana kekuatan geografis dan posisi strategis negara dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pertahanan nasional. Dalam sejarahnya, Indonesia selalu berada pada pusat pertarungan kepentingan kekuatan asing—mulai dari zaman kolonial, Perang Dingin, hingga rivalitas kontemporer antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Faktor inilah yang membuat teori-teori geopolitik klasik tetap menjadi rujukan dalam menentukan arah strategis pertahanan Indonesia, meskipun selalu disesuaikan dengan konteks politik bebas-aktif yang menjadi dasar politik luar negeri Indonesia.
Pengaruh teori Mahan tentang Sea Power merupakan salah satu unsur paling menonjol dalam kebijakan pertahanan Indonesia. Menurut Mahan, suatu negara akan memegang kendali geopolitik global apabila ia menguasai lautan, jalur perdagangan maritim, serta memiliki armada laut yang kuat dan mampu melakukan proyeksi kekuatan ke wilayah strategis. Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari dua pertiga wilayahnya terdiri dari laut dan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi kebutuhan yang tak terelakkan untuk menjadikan kekuatan maritim sebagai tulang punggung pertahanannya.

Keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur pelayaran internasional menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur vital dalam sistem perdagangan dunia. Potensi ancaman—baik dari pelanggaran wilayah, pencurian ikan oleh kapal asing, konflik batas maritim, hingga manuver militer negara besar di Laut Natuna Utara—mendorong Indonesia untuk menerapkan pendekatan maritim yang kuat sesuai pemikiran Mahan.

Adopsi pemikiran Mahan terlihat nyata dalam kebijakan Poros Maritim Dunia yang dicanangkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini menekankan bahwa Indonesia harus memperkuat armada lautnya, membangun pangkalan militer maritim di titik-titik strategis, dan menjaga keamanan jalur pelayaran internasional yang melintasi wilayah Indonesia. Modernisasi armada TNI AL melalui program Minimum Essential Force (MEF), peningkatan kemampuan kapal patroli, pengadaan kapal selam, serta integrasi teknologi radar dan satelit merupakan bagian dari upaya Indonesia memperkuat postur pertahanan lautnya. Konsep Mahan juga tercermin dalam pengelolaan kawasan perbatasan maritim Indonesia, seperti pembangunan pangkalan dan penguatan pertahanan di Natuna yang semakin strategis akibat klaim sepihak di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, teori Sea Power tidak hanya memberikan kerangka pemikiran tentang pentingnya dominasi laut, tetapi juga menjadi landasan dalam merancang kebijakan indera maritim yang memperkuat kedaulatan dan kehadiran negara di wilayah perairan.

Selain pemikiran Mahan, teori Rimland yang dikembangkan Nicholas Spykman juga memainkan peran penting dalam pembentukan orientasi strategis Indonesia di kawasan Indo-Pasifik. Spykman berpendapat bahwa kekuatan dunia tidak ditentukan oleh penguasaan daratan inti Eurasia (Heartland), melainkan oleh kekuatan untuk mengendalikan wilayah pesisir yang mengelilinginya atau disebut rimland. Kawasan Asia Tenggara—termasuk Indonesia—merupakan bagian dari rimland tersebut, sehingga negara-negara di kawasan ini memiliki kedudukan strategis dalam menentukan keseimbangan kekuatan global.

BACA JUGA   Mayat Hidup

Relevansi teori Spykman semakin terlihat ketika rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Indo-Pasifik semakin intens. Jalur-jalur strategis dari Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, hingga Pasifik Barat melewati atau bersinggungan dengan wilayah Indonesia. Dalam kondisi demikian, Indonesia tidak bisa mengabaikan tekanan geopolitik dan keharusan membangun kebijakan pertahanan yang mampu merespons dinamika kekuatan global.

Kebijakan Indonesia memperkuat pertahanan di pulau-pulau terluar seperti Natuna dan Miangas mencerminkan adaptasi pemikiran Spykman. Penguatan infrastruktur pertahanan di wilayah-wilayah tersebut penting untuk menjaga batas maritim sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kehadiran negara di kawasan strategis. Selain itu, kerja sama pertahanan dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat menunjukkan kesadaran Indonesia bahwa stabilitas kawasan tidak dapat dijaga hanya dengan kekuatan unilateral. Kehadiran forum multilateral seperti ASEAN Defense Ministers’ Meeting (ADMM-Plus) juga memperlihatkan peran diplomasi pertahanan Indonesia dalam melakukan balancing terhadap kekuatan-kekuatan besar.

Dengan demikian, adaptasi teori Spykman tidak hanya terlihat dalam penguatan militer, tetapi juga dalam strategi diplomatik yang menempatkan Indonesia sebagai aktor penting dalam arsitektur keamanan kawasan.

Sementara teori Heartland Halford Mackinder tampaknya kurang relevan bagi Indonesia yang bukan negara kontinental, prinsip-prinsip yang terkandung dalam teori tersebut tetap diadaptasi dalam konteks pertahanan domestik Indonesia. Mackinder mengemukakan bahwa penguasaan wilayah daratan inti dapat menentukan ketahanan dan stabilitas suatu negara. Dalam konteks Indonesia, pemikiran ini diterapkan melalui penguatan komando teritorial TNI sebagai bagian dari strategi pertahanan darat yang tersebar. Keberadaan Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil merupakan bentuk adaptasi konsep penguasaan wilayah inti untuk memastikan stabilitas dan kesiapan militer di seluruh daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur strategis di wilayah pedalaman dan perbatasan seperti Papua dan Kalimantan menjadi prioritas guna memastikan mobilitas logistik, integrasi wilayah, serta memperkuat ketahanan nasional terhadap ancaman internal maupun eksternal.Adaptasi unsur-unsur pemikiran Mackinder juga tampak dalam strategi Indonesia memperkuat ketahanan energi, pangan, dan konektivitas nasional.

Indonesia menyadari bahwa pertahanan tidak hanya bersifat militer, tetapi juga mencakup ketahanan ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah daratan inti untuk mendukung ketahanan nasional merupakan cerminan dari prinsip Heartland yang menekankan pentingnya wilayah inti sebagai basis kekuatan negara. Dengan demikian, meskipun Indonesia tidak mengadopsi teori Mackinder secara literal, unsur-unsurnya tetap relevan dalam strategi penguatan wilayah domestik Indonesia.

Penerapan teori geopolitik klasik dalam kebijakan pertahanan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tuntutan realitas kontemporer. Indonesia tidak hanya menghadapi ancaman tradisional seperti pelanggaran wilayah atau konflik perbatasan, tetapi juga ancaman non-tradisional seperti kejahatan lintas batas, radikalisme, serangan siber, dan perubahan iklim. Oleh karena itu, strategi pertahanan Indonesia menggabungkan elemen hard power dan soft power, serta memperkuat kerja sama internasional dalam berbagai bidang pertahanan dan keamanan. Diplomasi pertahanan menjadi instrumen penting dalam menjaga kepentingan nasional di tengah persaingan geopolitik negara besar. Indonesia berupaya menjaga posisi bebas-aktif, tidak berpihak secara formal, namun tetap membangun hubungan strategis yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak untuk menjaga stabilitas kawasan.

Secara menyeluruh, adaptasi teori geopolitik klasik dalam kebijakan pertahanan Indonesia merupakan proses yang dinamis dan terus berkembang. Indonesia menafsirkan teori-teori tersebut bukan sebagai formula yang harus diikuti secara mutlak, tetapi sebagai kerangka pemikiran yang membantu pemerintah merespons perubahan lingkungan strategis. Pengaruh Mahan terlihat dalam penguatan maritim dan pembangunan identitas Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. Pemikiran Spykman tercermin dalam orientasi strategis Indonesia yang lebih outward-looking serta keterlibatannya dalam arsitektur keamanan Indo-Pasifik. Sementara prinsip Mackinder tampak dalam penguatan komando teritorial dan pembangunan infrastruktur pertahanan di wilayah pedalaman. Dengan mengkombinasikan teori geopolitik klasik dan kebutuhan kontemporer, Indonesia membangun kebijakan pertahanan yang adaptif, multidimensional, dan mampu mengakomodasi perubahan geopolitik global. (***)

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *