Home / Opini / Politik Lokal dan Keistimewaan Yogyakarta dalam Desentralisasi Asimetris Ketika Tradisi Bertemu Demokrasi
IMG-20251202-WA0010

Politik Lokal dan Keistimewaan Yogyakarta dalam Desentralisasi Asimetris Ketika Tradisi Bertemu Demokrasi

Tasikzone.com – Yogyakarta bukan sekadar destinasi wisata atau kota pelajar. Di balik gemerlap Malioboro dan keramahan penduduknya, ada sesuatu yang membuatnya benar-benar istimewa secara harfiah dan konstitusional. Berbeda dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia, Yogyakarta menjalani sistem pemerintahan yang unik, di mana Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam secara otomatis menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Ini bukan sekadar tradisi yang dipertahankan, melainkan bagian dari eksperimen besar Indonesia dengan desentralisasi asimetris.

Kalau kita bicara soal desentralisasi di Indonesia, biasanya yang terbayang adalah pembagian kekuasaan yang merata semua daerah diperlakukan sama. Tapi kenyataannya? Tidak sesederhana itu. Desentralisasi asimetris mengakui bahwa Indonesia itu beragam, dan keberagaman itu kadang membutuhkan perlakuan khusus. Yogyakarta adalah contoh paling jelas dari prinsip ini.

Keistimewaan Yogyakarta bukan lahir dari udara kosong. Ada latar sejarah yang kuat: jasa Keraton Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika ibu kota republik berpindah-pindah menghindari agresi Belanda, Yogyakarta membuka pintunya. Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan kerajaannya sebagai bagian dari Republik Indonesia tanpa syarat sebuah pengorbanan yang tidak terlupakan. Maka, ketika UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY disahkan, itu bukan sekadar hadiah, tetapi pengakuan atas kontribusi historis yang nyata.

UU Keistimewaan memberikan Yogyakarta kewenangan khusus dalam lima urusan: tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintahan, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Di atas kertas, ini terdengar teknis. Tapi dalam praktik, dampaknya sangat terasa.

Ambil contoh urusan pertanahan. Yogyakarta memiliki tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground tanah keraton yang tersebar di seluruh wilayah. Pengelolaan tanah ini tidak mengikuti aturan umum seperti di provinsi lain, dan ini menciptakan dinamika sosial-ekonomi yang khas. Ada yang melihatnya sebagai bentuk pelestarian tradisi, ada pula yang mempertanyakan keadilannya di era modern.

Atau urusan kebudayaan. Yogyakarta tidak sekadar “melestarikan” budaya Jawa, tetapi menjadikannya fondasi kebijakan publik. Festival-festival, upacara adat, hingga pendidikan berbasis kearifan lokal semuanya mendapat dukungan struktural. Ini membuat identitas budaya Yogyakarta tetap kuat di tengah arus globalisasi yang menyapu kota-kota lain.
Namun, keistimewaan ini juga memicu perdebatan yang tidak mudah dijawab: apakah sistem ini demokratis?

Di provinsi lain, masyarakat punya hak memilih gubernur mereka sendiri melalui Pilkada. Di Yogyakarta, posisi itu secara otomatis dipegang oleh Sultan. Bagi sebagian orang, ini adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya. Sultan bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga simbol spiritual dan kultural yang dihormati rakyat Yogyakarta.

Tapi bagi yang lain, ini problematis. Bagaimana dengan akuntabilitas? Bagaimana jika Sultan tidak berkinerja baik? Tidak adanya mekanisme pemilihan langsung berarti tidak ada mekanisme recall atau evaluasi publik yang sama seperti di daerah lain. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah keistimewaan justru menciptakan ruang yang kebal kritik? Saya sendiri cenderung melihat ini sebagai trade-off.

Tidak ada sistem yang sempurna. Yogyakarta memilih stabilitas politik dan kontinuitas budaya, dengan risiko mengurangi elemen kompetisi demokratis. Apakah itu pilihan yang tepat? Jawabannya mungkin bergantung pada siapa yang Anda tanya dan kapan Anda bertanya.

Salah satu hal paling menarik dari Yogyakarta adalah bagaimana institusi tradisional seperti Keraton tetap memainkan peran aktif dalam politik modern. Ini bukan sekadar nostalgia atau ceremonial. Keraton adalah aktor politik riil.

BACA JUGA   Public Policy Watch Soroti Kelemahan Sistem Pengawasan Program Makan Bergizi Gratis

Sultan tidak hanya duduk di istana memberikan restu. Ia membuat kebijakan, menandatangani peraturan daerah, dan terlibat dalam perdebatan publik. Saat pandemi COVID-19, misalnya, Keraton membuka halaman untuk digunakan sebagai lokasi vaksinasi massal. Ini adalah contoh bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.

Namun, hubungan antara Keraton dan birokrasi modern tidak selalu mulus. Ada ketegangan struktural antara logika monarki (yang hirarkis dan paternalistik) dengan logika demokrasi (yang egaliter dan partisipatif). Bagaimana pemerintah daerah menyeimbangkan dua logika ini adalah seni tersendiri dan sejauh ini, Yogyakarta tampaknya mampu mengelolanya dengan relatif baik.

Eksperimen Yogyakarta memberikan pelajaran penting untuk Indonesia yang lebih luas. Pertama, desentralisasi tidak harus seragam. Keberagaman Indonesia tidak bisa dipaksakan masuk dalam satu template. Aceh punya otonomi khusus, Papua juga, dan Yogyakarta punya keistimewaan. Ini bukan inkonsistensi, tetapi fleksibilitas dan mungkin itulah yang membuat Indonesia tetap bersatu meski beragam.

Kedua, tradisi dan modernitas tidak selalu bertentangan. Yogyakarta membuktikan bahwa institusi tradisional bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Keraton hari ini tidak sama dengan Keraton abad ke-18, tapi esensinya masih dipertahankan.

Ketiga, stabilitas politik itu berharga. Yogyakarta relatif bebas dari konflik elite yang melelahkan seperti di banyak daerah lain. Tidak ada pertarungan brutal antar calon gubernur, tidak ada kampanye hitam yang memecah belah. Ada harga yang harus dibayar untuk stabilitas itu, tentu saja tapi hasilnya terlihat: Yogyakarta tetap menjadi salah satu daerah paling dinamis dan inovatif di Indonesia.

Namun, kita tidak boleh terlalu romantis. Masih ada banyak pekerjaan rumah. Implementasi lima urusan keistimewaan belum sepenuhnya optimal. Urusan pertanahan, misalnya, masih menyisakan banyak persoalan terkait hak masyarakat dan transparansi pengelolaan. Urusan tata ruang juga sering berbenturan dengan kepentingan investasi dan pembangunan.

Ada juga pertanyaan generasional. Generasi muda Yogyakarta tumbuh di era yang lebih terbuka dan kritis. Mereka menghormati Sultan, tapi mereka juga ingin ruang untuk berpartisipasi, berdebat, dan mengkritisi. Bagaimana sistem keistimewaan merespons tuntutan ini akan menentukan relevansinya di masa depan.

Yogyakarta istimewa itu fakta. Tapi keistimewaan adalah privilege, dan setiap privilege membawa tanggung jawab. Tanggung jawab untuk tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga memastikan bahwa tradisi itu tetap bermakna bagi rakyat. Tanggung jawab untuk tidak berpuas diri, tetapi terus berinovasi dan beradaptasi.

Desentralisasi asimetris di Yogyakarta adalah eksperimen yang berani. Eksperimen yang tidak akan sempurna, tapi patut diapresiasi. Karena pada akhirnya, politik bukan tentang menemukan sistem yang sempurna tetapi tentang menemukan sistem yang paling cocok dengan konteks dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.
Dan Yogyakarta, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, mungkin telah menemukan jalannya sendiri.

Tugas mata kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi. Berikut nama nama penyusun:
– Melisa Siti Rahmah 233507104
– Reda Cezzar Maharani 233507112
– Yulia Andriyani 233507122
– Muhammad Fauzan shidiq 233507115
– Muhammad Hudan Ansori 233507135
– Eka Mustika 233507132

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *