Home / Opini / Dinamika Kekuasaan Agraria: Implementasi Perdais Keistimewaan Yogyakarta terhadap Sultan Ground dan Pakualaman Ground
IMG-20251201-WA0024

Dinamika Kekuasaan Agraria: Implementasi Perdais Keistimewaan Yogyakarta terhadap Sultan Ground dan Pakualaman Ground

Tasikzone.com – Tanah memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya sebagai fomdasi ekonomi, tetapi juga sebagai basis kekuasaan dan legitimasi politik. Di Yogyakarta, isu tanah memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain lantaran adanya Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), yaitu dua kategori tanah yang dimiliki oleh kerajaan dan diwariskan sejak zaman pemerintahan tradisional.

Keistimewaan Yogyakarta memungkinkan dua lembaga monarki, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, tetap diakui sebagai pemilik resmi lahan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Daerah (Perdais) No. 1 Tahun 2017 yang secara formal mengatur pengelolaan tanah istimewa.

Namun, penerapannya tidak berjalan mulus karena melibatkan kompleksitas hubungan antara pemerintah, kerajaan, dan masyarakat.

Struktur agraria di Yogyakarta didasarkan pada dua sistem hukum yang berjalan bersamaan. Di satu sisi, terdapat Hukum Agraria Nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Di sisi lain, masih ada Hukum Tanah Swapraja yang berasal dari tradisi kerajaan. Sebagai hasilnya, Kesultanan dan Pakualaman tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga diakui sebagai entitas hukum yang memiliki legitimasi penuh atas SG dan PAG. Struktur ini memberikan posisi tawar yang kuat kepada Kraton dalam menentukan cara penggunaan tanah di Yogyakarta.

Bagi beberapa orang, ini mencerminkan keunikan Yogyakarta; namun bagi yang lain, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang akomodasi hak-hak masyarakat.
Untuk menjelaskan status dan batasan tanah milik kerajaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga internal kerajaan melakukan pengumpulan data secara menyeluruh sejak tahun 2013.

Panitikismo dan Puro Pakualaman bertugas sebagai pelaksana teknis yang bertanggung jawab untuk mendata, mengelola, dan memberikan sertifikat tanah SG dan PAG. Dengan dukungan dana dari Dana Keistimewaan, proses ini berlangsung dengan intensif dan berhasil mencatat sekitar 13. 944 bidang tanah hingga beberapa tahun terakhir. Tindakan ini memberikan kepastian hukum pada banyak tanah yang sebelumnya memiliki status yang tidak jelas. Perdais juga berfungsi sebagai penghubung antara otoritas adat dan kerangka hukum negara.

Namun, ketika pengaturan tanah dimulai, timbul ketegangan di berbagai lapisan masyarakat. Negara dan monarki saling menghargai peran masing-masing, tetapi keduanya memiliki kepentingan yang berbeda dalam pengelolaan tanah. Bagi monarki, SG dan PAG merupakan bagian dari warisan budaya dan identitas politik. Sementara bagi negara, tanah di anggap sebagai aset untuk pembangunan. Di sisi lain, beberapa masyarakat yang telah tinggal atau bertani di lahan tertentu selama puluhan tahun merasa cemas ketika lahan tersebut ternyata terdaftar sebagai milik SG atau PAG. Situasi ini sering kali memicu sengketa ketika masyarakat mengklaim hak penguasaan berdasarkan sejarah, sedangkan Kraton mengklaim berdasarkan legitimasi hukum adat dan Perdais.

BACA JUGA   Terjangkit Penyakit Kroniskah Kita?

Dinamika ini mengakibatkan munculnya masalah pertanahan yang tidak semata-mata administratif, melainkan juga melibatkan kepentingan dan emosi. Beberapa orang menganggap Perdais sebagai penguatan yang sah terhadap keistimewaan Yogyakarta, tetapi yang lainnya khawatir bahwa penguatan ini bisa berujung pada “oligarki tanah” apabila sebagian besar lahan dikuasai oleh satu entitas.

Selain itu, pergeseran fungsi tanah dari simbol budaya menjadi alat ekonomi politik semakin jelas seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk pembangunan. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi masyarakat yang tergantung pada akses tanah untuk tempat tinggal dan penghasilan.
Pada akhirnya, penerapan Perdais menunjukkan bahwa pengelolaan tanah di Yogyakarta berada pada persimpangan antara tradisi dan modernitas.

Keberhasilan dalam pengumpulan data SG dan PAG membuktikan bahwa Yogyakarta mampu merapikan struktur agrarianya melalui kolaborasi antara kekuatan budaya dan hukum negara. Namun, proses ini perlu disertai dengan usaha untuk membangun keadilan agraria yang tidak hanya menekankan keistimewaan, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat.

Oleh karena itu, masa depan pengelolaan tanah di Yogyakarta sangat tergantung pada kemampuan semua pihak negara, keraton, dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Tugas Mata Kuliah Mata kuliah politik lokal dan otonomi daerah FISIP Universitas Siliwangi, berikut nama Kelompok :

1. Naufal Farhan Nabil 233507093
2. Siti Zahra Nuraeni Latifah 233507101
3. Salvana Deva Alisa 233507108
4. Ai Latifah Fauziah 233507126
5. Chandra Futra 233507127

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *