Oleh : amelia nur agustira
Mahasiswa ilmu politik Univerisitas Siliwangi
Tasikzone.com – Belanja online di Indonesia kini telah bergerak lebih jauh melampaui urusan diskon, flash sale, atau ongkir murah telah menjelma menjadi ruang strategis tempat kekuatan global saling berinteraksi, bersaing, dan berebut pengaruh.
Dalam kacamata Colin S. Gray—yang menekankan bahwa geopolitik selalu berpijak pada tiga unsur utama: ruang, kekuatan, dan strategi—maka ekosistem e-commerce Indonesia bukan lagi sekadar pasar, tetapi juga wilayah geopolitik digital yang diperebutkan.
Indonesia menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara, namun ironisnya, sebagian besar infrastruktur digitalnya masih bertumpu pada modal, teknologi, dan perusahaan asing.
Mulai dari algoritma yang menentukan apa yang muncul di beranda, sistem pembayaran yang menghubungkan transaksi, hingga server dan manajemen data yang menyimpan preferensi jutaan konsumen, sebagian besar berada dalam jaringan global yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan negara.
Di sinilah letak strategic vulnerability yang dimaksud Gray: ketika ruang digital nasional bergantung pada kekuatan luar, sehingga keputusan ekonomi warga dapat dipengaruhi logika bisnis dan geopolitik yang berada di luar jangkauan negara.
Dominasi platform asing juga membuka ruang bagi rivalitas kekuatan besar terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang kini berebut pengaruh melalui teknologi digital.
Platform seperti marketplace, dompet digital, hingga layanan logistik yang terkoneksi secara global dapat menjadi instrumen soft power yang memperluas pengaruh ekonomi sekaligus politik.
Ketika data konsumen menjadi “minyak baru”, siapa yang menguasai data, pada akhirnya menguasai perilaku pasar.
Namun Indonesia tidak berdiri pasif.
Justru di tengah ketergantungan itu, peluang strategis negara harus muncul. Indonesia dapat memperkuat kedaulatan digital melalui beberapa langkah: memperketat regulasi data pribadi, memberikan ruang bagi perusahaan lokal untuk tumbuh dan tidak tersingkir oleh modal raksasa, hingga membangun ekosistem teknologi yang mampu bersaing mulai dari logistik nasional, cloud lokal, hingga sistem pembayaran yang aman dan berdaulat.
Sesuai pandangan Gray, negara harus mampu memaksimalkan ruang strategisnya sendiri dan tidak membiarkan ruang digital nasional yang menjadi arena dominasi kekuatan luar.
Pada akhirnya, setiap klik belanja yang tampaknya sepele menyimpan dinamika geopolitik yang rumit. Di balik troli digital yang kita dorong, bertarung kepentingan ekonomi global yang turut menentukan arah kedaulatan Indonesia di masa depan.
Tantangan besarnya adalah memastikan ruang digital Indonesia bukan menjadi pintu masuk dominasi asing, melainkan menjadi instrumen untuk memperkuat posisi strategis Indonesia dalam geopolitik era teknologi.
Jika dulu geopolitik identik dengan perebutan wilayah, jalur laut, atau sumber daya, kini salah satu “wilayah baru” yang diperebutkan justru berada di layar ponsel kita. Keranjang belanja online, yang setiap hari kita isi dengan skincare, pakaian, atau barang kebutuhan rumah, sebenarnya telah menjadi ruang strategis yang menentukan arah kekuatan global.
Hal ini membuat troli digital bukan lagi sekadar simbol gaya hidup modern, tetapi juga medan persaingan antara negara besar dan perusahaan teknologi raksasa.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa yang kita hadapi bukan hanya persaingan harga, tetapi persaingan pengaruh. Algoritma yang mengatur apa yang kita lihat bukanlah sesuatu yang netral ada logika bisnis, kepentingan data, dan bahkan strategi politik global yang bermain di baliknya.
Dalam bahasa sederhana: apa yang kita klik, simpan, atau bayar online bisa saja diarahkan oleh kepentingan kekuatan di luar Indonesia.
Hal inilah yang membuat isu e-commerce menjadi pembicaraan serius di berbagai negara. Banyak pemerintah mulai menyadari bahwa platform yang menguasai data.
Jika dibiarkan tanpa pengaturan, dominasi asing dalam platform digital bisa membuat sebuah negara kehilangan kontrol atas apa yang terjadi di ruang digitalnya sendiri.
Indonesia sebenarnya memiliki posisi tawar yang besar. Dengan jumlah pengguna internet yang masif dan angka transaksi yang terus melonjak, Indonesia adalah pasar yang sangat seksi bagi investor global. Namun pasar yang besar saja tidak cukup; tanpa strategi jelas, Indonesia hanya akan menjadi “ladang” bagi perusahaan asing tanpa mendapatkan manfaat strategis dengan jangka panjang.
Di sinilah pentingnya kedaulatan digital, Indonesia perlu memastikan bahwa seluruh aktivitas digital dari penyimpanan data hingga sistem pembayaran berada dalam kerangka yang melindungi kepentingan nasional. Salah satu caranya adalah membangun ekosistem teknologi lokal yang mampu bersaing, bukan sekadar bertahan.
Selain itu, edukasi publik juga penting, Masyarakat perlu memahami bahwa ruang digital bukanlah ruang bebas risiko. Kesadaran terhadap keamanan data, privasi, dan perilaku konsumsi digital harus dibangun sejak sekarang. Di era ketika data adalah aset paling berharga, pengguna yang cerdas adalah bagian dari kedaulatan nasional.
Dengan melihat dinamika ini, kita bisa memahami bahwa belanja online bukan lagi aktivitas ringan yang berdiri sendiri. hal ini kini terhubung dengan isu besar seperti keamanan nasional, persaingan teknologi global, dan kedaulatan digital. Troli digital yang kita dorong setiap hari mungkin tampak sederhana, tetapi berada di tengah pusaran persaingan antara raksasa dunia.
Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton saja,Ruang digital Indonesia harus menjadi ruang yang aman, berdaulat, dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi bangsa. Jika strategi yang tepat dijalankan, Indonesia bisa menjadikan troli digital bukan sebagai simbol ketergantungan, tetapi sebagai bagian dari kekuatan baru dalam geopolitik era teknologi.
Tasik Zone Kreativitas Muda Untuk Indonesia