Tasikzone.com – Di sebuah gubuk renta berukuran tak lebih dari 2×3 meter di RT 02 RW 10 Lengo, Kelurahan Bantarsari, Kecamatan Bungursari, Kota Tasikmalaya, hidup seorang lelaki sepuh bernama Emid, 76 tahun.
Gubuk itu lebih mirip bangunan darurat ketimbang rumah, dinding yang sudah lapuk, atap yang menua, dan ruang sempit yang menjadi tempat berteduh bagi tiga orang abah Emid, istrinya, dan seorang anaknya yang sakit.
Di usia yang seharusnya menjadi masa beristirahat, Pak Emid justru masih berjuang agar dapurnya tetap mengepul. Ia tak punya rumah sendiri. Tempat tinggalnya berdiri di atas tanah wakaf pesantren, dibangun dari kepedulian pengurus RT yang tak tega melihat seorang lansia tersisih tanpa tempat tinggal.
Sebelum mendapat gubuk itu, hidup Pak Emid dan keluarganya adalah rangkaian perpindahan tanpa henti. Yang paling menyakitkan, ia pernah diusir warga. Alasannya sederhana namun menohok, lingkungan keberatan jika ia tinggal di sana.
Abah Emid bukan tanpa keluarga. Ia pernah mencari saudara di Kecamatan Indihiang, tapi jejak mereka seolah hilang ditelan waktu. Ia juga memiliki anak, namun memilih tidak membebani mereka yang juga terpeleset dalam kubangan kemiskinan.
Lebih ironis lagi, di negara yang getol berbicara soal “pengentasan kemiskinan”, nama Abah Emid tak pernah muncul di data bantuan sosial.
Tidak PKH, tidak BPNT, tidak bantuan apa pun. Administrasi kependudukannya yang tak beres membuat ia seolah tak pernah ada di mata pemerintah sebuah kekosongan yang terlalu sering menjadi jurang bagi warga miskin ekstrem.
Untuk bertahan hidup, Pak Emid mengumpulkan barang bekas dari sudut-sudut kota. Barang-barang itu ditumpuk di samping gubuknya, lalu ia jual jika jumlahnya cukup untuk ditimbang. Upaya kecil yang menjadi penyangga hidup sebuah keluarga tua di tengah kota yang sibuk berbicara tentang pembangunan.
Kisah getir itu sampai ke telinga Yayasan Padi Nusantara Sejahtera. Pada Minggu siang, 16 November 2025, mereka datang membawa beras dan sejumlah uang tunai. Bagi sebagian orang, bantuan itu mungkin kecil. Tapi bagi abah Emid, itu seperti jeda dari tekanan hidup yang tak pernah memberi ruang bernapas.
“Alhamdulillah, abdi ngaraos bingah pisan, teu kedah kerja keras teuing kanggo meser beas,” ujar abah Emid dengan senyum yang tampak jarang muncul di wajah renta itu.
Di tengah gurun panjang penderitaannya, bantuan itu menjadi oase singkat. Setidaknya beberapa hari ke depan, ia tak perlu memunguti botol plastik dari pagi sampai senja hanya untuk membeli beras.
Yanuar M. Rifqi, pengurus yayasan, tak bisa menyembunyikan kemarahannya setelah melihat langsung kondisi abah Emid. Suaranya bergetar, tapi tegas.
“Terus terang kami tidak percaya, di Kota Tasikmalaya yang katanya berkembang ini masih ada warga yang hidup dalam kondisi ekstrem seperti ini dan luput dari perhatian pemerintah.”kata Yanuar
Yanuar menuntut Pemerintah Kota Tasikmalaya dan instansi terkait untuk turun tangan. Bukan sekadar meninjau, tapi memastikan pemulihan kondisi sosial abah Emid, memastikan bahwa seorang lansia dapat hidup layak dan bermartabat.
“Pemerintah tidak boleh menutup mata. Jangan sampai ada lagi Pak Emid–Pak Emid lain yang dibiarkan terlupakan di pojok-pojok kota,” tutupnya dengan nada prihatin.
Di balik gubuk reyot itu, tersimpan sebuah pertanyaan besar yang selama ini menggantung di udara, bagaimana mungkin seorang warga usia senja harus berjuang sendirian, sementara pemerintah sibuk memamerkan capaian pembangunan?. Pertanyaan itu tetap menggema, menunggu jawaban, atau setidaknya kepedulian yang nyata. (***)
Tasik Zone Kreativitas Muda Untuk Indonesia