Oleh : Hendris Arisman Andriyana, SE
Kontributor Tasikzone.com mitra Beritasatu.com (BNetwork)
Pangandaran, Tasikzone.com – Dana yang bersumber dari Anggaran Belanja dan Pemdapatan Negara (APBN) yang biasa dialokasikan dan disalurkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) tahun depan perlu perhatian serius dan jika langkah ini bisa lebih terpuruk.
Tujuan TKD sendiri untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah untuk menyokong layanan publik.
Adapun beberapa rincian APBN seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Insentif Fiskal (IF) dan Dana Desa (DD) ini diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang setiap tahunnya berubah.
Terlebih beberapa belakang ini Pemerintah Pusat baru mengumumkan anggaran untuk Transfer Ke Daerah (TKD) dipangkas dari 919 Triliun menjadi 650 Triliun oleh pemerintah pusat untuk Tahun Anggaran 2026.
Alih – alih otonomi daerah untuk memaksimalkan sumber daya yang ada faktanya Pemerintah Daerah Pangandaran masih perlu bantuan pusat.
Adapun rincian TKDD TA 2025 Kabupaten Pangandaran sebesar Rp 924.623.915.000.
Melihat potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pangandaran jika dirata – ratakan dari taun ke tahun sekitar Rp250 Miliar, artinya jika ditambahkan sekitar Rp 1.174 Miliar.
Sementara pembiayaan setiap tahunnya melebihi dari sumber pendapatan Pemda selama ini. Belum lagi ditambah cicilan pinjaman hutang jangka pendek plus beban bunga ke Bank BJB.
Akhir tahun Pemda Pangandaran tentu harus menyiapkan angka yang sangat fantastis guna memenuhi kewajibannya kepada Bank Milik masyarakat Jawa Barat tersebut.
Dipangkasnya TKD ini maka Pemerintah Daerah Kabupaten Pangandaran makin pusing tujuh keleyengan, artinya TKD TA 2026 yang diterima oleh Pemda sekitar Rp 647 Miliar dari tahun sebelumnya 2025 atau sekitar 70%.
Dengan dipangkasnya TKD 70% oleh Pemerintah pusat, tentu akan sangat terasa dampak sosialnya, antara lain :
1. Tarif pajak dan retribusi naik,
2. Daya beli menurun,
3. Pengangguran bertambah,
4. Harga Melesat,
5. Pertimbuhan ekonomi melambat,
6. Inflasi,
7. Penurunan investasi dan insentif berwirausaha,
8. Tekanan pada tabungan.
Sebuah konsekuensinya adalah Pemda Pangandaran dipaksa nyari duit sendiri sebagai sumber penerimaan baru untuk keseimbangan keuangan daerah agar tidak terjun bebas alami defisit.
Pemda harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri, kita tidak ingin kejadian Kabupaten Pati menimpah di Kabupaten Pangandaran, karena seperti yang kita ketahui beberapa minggu lalu, Pemda Kabupaten Pati merencanakan menaikan Pajak PBB 250%, reaksi masyarakat sangat luar biasa.
Sementara kalau saya melihat BUMD seperti PDAM saja alami penurunan aset tiap tahunnya, dalam 4 tahun kebelakang saja alami penurunan aset akibat adanya deprediasi aset dan beban operasional yang tinggi, dari Modal dasar awal 40 Miliar (Perda No.14 Tahun 2019), dan Modal disetor 30 Miliar berupa aset dan sarana dan prasaranan air bersih.
Sehingga per Desember 2023 dalam Laporan Perubahan Modal / Equitas menjadi 19 miliar, artinya beban biaya operasional dan depresiasi aset berkurang 11 Miliar, ini perlu diselamatkan, Pemda jangan diam, DPRD harus melek.
Karena kalau mengacu kepada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 01 Tahun 2021, Pemda masih kurang setor sebesar 10 Miliar ke PDAM.
Belum lagi kebocoran kerugian keuangan negara dari kasus tiket palsu pariwisata hingga kini kasusnya belum bisa diungkap dan masyarakat masih menunggu integritas APH.
Kalau hanya andalkan pariwisata sulit meningkat PAD, sementara solusi apa yang ditawarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangandaran atas arah kebijakan ditahun depan ??
Pertanyaannya adalah “Akankah kita akan menjadi sapi perah baru ataukah kita merasa cukup” … ??