Home / Opini / Sabar vs Instan…..!
Sabar Vs Instan

Sabar vs Instan…..!

Oleh : Rifyal Luthfi MR

Apa yang disebut instan? ya, tepat seperti saat kita membuat mie instan. Mie yang setengah siap saji, cukup dicemplungkan ke air panas dan langsung siap santap. Proses cepat, tidak butuh waktu lama, tidak butuh usaha keras. Namun, resikonya juga ada. Makanan-makanan instan membawa kerugian pada kesehatan tubuh kita. Enak, minim gizi, dan mengandung zat berbahaya. Berbeda halnya dengan makanan yang kita masak dalam kondisi segar, kita masak dengan proses yang cukup.

Demikian juga dalam manajeman waktu. Jika kita ingin instan saja dalam mengelola waktu, maka yang akan terjadi adalah kita malas berproses. Kita berusaha melakukan sesuatu hal, dan langsung ingin mendapatkan hasilnya seketika. Tak ada faktor kesabaran, keuletan, kegigihan, istiqomah, dalam sebuah manajemen waktu berpola instan.

Ini berbeda dengan spirit yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits : “ Jika seseorang mati, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kebaikan baginya (HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita “menabur benih”. Saat seorang petani penebur benih, ia serta merta memanen keesokan paginya. Ia akan menjalani proses yang lama, dengan kerja keras menumbuhkan benih tersebut. Demikian juga dengan amal jariyah, ilmu yang disebarkan, serta anak saleh. Ketiganya adalah benih yang ditaburkan, dan hasil panennya akan kita tuai jauh-jauh hari belakangan.

Bahkan bisa jadi, secara kasat mata bukan kita sendiri yang akan menuai hasilnya. Amal jariyah, misalnya. Kita mawakafkan tanah atau peralatan untuk fasilitas umum. Secara langsung dan meterial, kita tidak akan mendapatkan apapun dari yang kita wakafkan itu. Namun kita merancang untuk mendapatkan hasilnya jauh hari setelah kita menabur benih amal jariyah. Jauh hari setelah itu, yakni di saat kita tak lagi hidup di dunia.

BACA JUGA   Bersahabat dengan Malaikat

Tak bedanya dengan ilmu yang bermanfaat. Seringkali memang kita secara langsung memperoleh manfaat dari ilmu yang kita tularkan. Meski demikian, dalam hadits tersebut rasul mengajarkan bahwa kemanfaatan sebuah ilmu akan bertahan terus menerus, sampai setelah kematian kita. Kita jadi tahu bahwa mencari ilmu, berilmu dan menebarkan ilmu, merupakan ikhtiar untuk sebuah investasi jangka panjang. Bukan semata untuk meraih keuntungan sekejap dan serta merta.

Saat mendidikan anak agar menjadi shaleh dan sukses dunia akhirat, kita juga diajak untuk menyadari bahwa manfaatnya bukan cuma saat kita masih bersama mereka di dunia. Ada manfaat yang jauh lebih panjang. Semacam deposito pahala dengan saldo gemuk tiada habisnya, yakni untuk bekal nanti di akhirat.

Sesungguhnya anak adalah investasi orang tua di masa depan. Bersyukurlah karena kita bisa menjadi orang tua, tidak mesti orang tua kandung saja, tetapi orang tua angkat, orang tua asuh, dan masih banyak orang diluar sana yang ingin menempati posisi kita saat ini (menjadi orang tua), banyak pula para orang tua yang anak-anaknya mengalami gangguan sehingga tidak bisa banyak mencoba hal-hal seperti anak kita yang normal sehingga tentu dibutuhkan ekstra kesabaran untuk menghadapinya. Bergaulah dengan para orang tua yang sabar sehingga kita bisa saling berbagi dan mengingatkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi proses belajar anak karena mendidik anak ibarat bercocok tanam, tanamlah bibit unggul, bersabarlah merawatnya, kelak akan kita peroleh buah yang ranum.

Hasbunallah Wani`mal wakil.

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *