Home / Opini / Belajar dari Perumpamaan Buih
buih

Belajar dari Perumpamaan Buih

Oleh Rifyal Luthfi MR.

Tahukah buih? Buih adalah sebuah gelembung-gelembung kecil pada permukaan barang cair yang dirinya tidak mempunyai bobot sedikitpun, bahkan menjadi penghalang bagi keindahan birunya air dilautan.

Terkadang jika kita memahami arti kehidupan maka akan terbersit dalam diri ini bahwa kehidupan kita hanya sementara dan sebentar saja. Bahkan apa yang Allah perintahkan, dikerjakan hanya untuk menunaikan kewajiban saja terlepas dari itu selesai sudah amalan dari diri ini tanpa ada suatu peningkatan bahkan hanya dijadikan sebagai pelengkap saja dalam kehidupan. Inilah gambaran yang menjadi penelusuran penulis dalam memahami umat di zaman now.

Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa: “Akan datang suatu zaman umat lain memperebutkan kamu sekalian seperti memperebutkan makanan dalam hidangan. Sahabat bertanya “Apakah kami jumlahnya sedikit pada saat itu”. Jawab Rasulullah; bukan bahkan sesungguhnya jumlah kamu banyak tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung di atas air dan di dalam hatimu dijadikan kelemahan jiwa. Sahabat bertanya “apa yang dimaksud kelemahan jiwa? Rasulullah menjawab, yaitu cinta dunia dan membeci kematian”. (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)

Sungguh tepat isyarat yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya di atas bahwa pada akhir zaman nanti umat Islam akan mengalami disintergrasi, penurunan kualitas iman, ibadah-ibadah yang dilaksankan hanya melepaskan beban kewajiban dan kegiatan rutinitas ritual tidak di sadari sebagai sebuah kebutuhan sehingga yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dengan orang yang tidak beriman. Sehingga mereka mudah diombang-ambingkan oleh kegemerlapan dunia yang serba menggiurkan. Ibarat buih yang terapung di atas air akan terhempas kemana-mana.
Dunia ini sebenarnya jika kita telusuri dari segi pengertian bahasanya yang terambil dari kata danâ, yang artinya adalah dekat, sebentar. Dari makna ini bisa dipahami bahwa dunia ini adalah suatu tempat yang dekat lagi sebentar. Hal ini dapat dirasakan ketika kita memakan makanan, yang merasakan lezat dan pahitnya adalah hanya sampai pada tenggorokan saat sampai diperut, tidak bisa dibedakan rasanya mana makanan yang lezat dan makanan yang tidak lezat. Itulah gambaran kehidupan dunia.

Salah satu penyebab kehilapan manusia adalah karena kecintaan terhadap dunia. Orang yang sangat mencintai dunia segala pikiran dan pandangannya selalu diukur oleh perhitungan dunia, bahkan kadang-kadang ada di antara umat Islam melaksanakan urusan akhirat bukan sebenarnya tujuan akhirat akan tetapi hanya sebagai pengelabuan kepada orang lain untuk mencapai cita-cita dunia.

Bangsa kita yang nota bene umat yang terbanyak adalah umat Islam, yang tentu saja agama kita sangat mengharapkan prilaku umatnya berjalan sesuai dengan aturan agamanya. tetapi sebuah pertanyaan, adalah mengapa persoalan bangsa kita belum terselesaikan atau paling tidak ada titik terang menuju suatu perubahan prilaku.

BACA JUGA   Peran Mahasiswa Dalam Pengentasan Kemiskinan Menuju Pembangunan Ekonomi Indonesia yang Berkelanjutan Pasca Pandemi

Bahkan tampaknya masih memprihatinkan prilaku sebagian masyarakat kita, baik masyarakat maupun masyarakat pemegang kekuasaan yang sangat diharapkan bisa menegakkan aturan tetapi justru menggunakan prinsip “aji mumpung”. Inilah budaya yang menggerogoti kehidupan bangsa kita, mumpung ada kesempatan, kapan lagi dimanfaatkan kedudukan itu kalau bukan sekarang. Pada hal jabatan itu sebenarnya hanya sebagai sebuah amanat bukan sebuah tujuan dan nantinya diakhirat akan dipertanyakan oleh Allah ta`ala.

Mempertahankan kebenaran di negara kita adalah sesuatu yang sangat langka lagi mahal. Ada orang yang mau berjuang akan tetapi selalu diukur dengan materi, kalau tidak menguntungkan bagi dirinya lebih baik bungkam atau diam daripada kedudukannya digeser.

Memang dunia ini manis rasanya dan enak dipandang, maka manusia tertarik dengannya. Betapa banyak manusia yang hanya memburu dunia setiap saat tidak mengenal waktu, siang dan malam, panas dan dingin. Bahkan sampai terbawa dalam mimpi.
Padahal apa yang diburunya itu belum tentu menjamin dirinya untuk dapat mendapat ketenangan. Karena banyak orang yang punya harta berlimpah, punya segala fasilitas dunia, mobil mewah, rumah mewah, tetapi justru hidupnya tidak tenang dan tidak bisa dinikmati.

Agama Islam bukan berarti melarang kita untuk mencarinya, agama kita tetap memberikan peluang seluas-luasanya bagi umat manusia untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya. Tidak melarang untuk kaya. Akan tetapi cara mendapatkannya dan memanfaatkannya sesuai dengan ajaran agama Islam dan tidak menjadi segala-galanya. Demikian pula jangan meninggalkan dunia karena hanya terfokus kepada ibadah kepada Allah. Dunia ini dengan segala fasilitasnya kita yang seharusnya mengendalikan bukan dia yang mengatur kita. Harta yang kita miliki janganlah ia yang mengatur dan memperbudak kita, sementara itu juga hati kita tidak pernah dibersihkan melalui zikir-zikir atau beribadah kepada Allah, kalaupun dilakukan hanya dengan sangat terpaksa atau merasa malu dengan sesamanya.

Padahal semestinya rasa malu itu jauh lebih didahulukan kepada Allah daripada manusia. Karena seseorang yang malu kepada Allah pasti juga malu terhadap manusia tidak sebaliknya. Jadi harta itu kita yang mengaturnya dan memanfaatkannya bukan kita yang dimanfaatkan.

Jika umat Islam sudah menomorsatukan dunia di atas segala-galanya, enggan menyuarakan kebenaran dan melarang kemungkaran maka Allah akan mencabut kebesaran Islam dari permukaan bumi ini dan mencabut keberkahan wahyu. Na`udzubillah

Hasbunallah Wani`mal wakil

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *